10 Ancaman Eksistensi Bangsa di Percaturan Global, Dari Masyarakat Tak Mau Punya Anak hingga Sering Berbicara Masa Lalu

4 hours ago 28

loading...

Masyarakat tak mau punya anak jadi ancaman eksistensi suatu bangsa. Foto/

LONDON - Eksistensi suatu bangsa bisa saja punah dan ditelan oleh percaturan global. Itu mendorong bangsa akan hilang dalam pergaulan internasional . Nantinya, mereka bisa musnah karena tidak menyesuaikan perkembangan zaman.

10 Ancaman Eksistensi Bangsa di Percaturan Global, Dari Masyarakat Tak Mau Punya Anak hingga Sering Berbicara Masa Lalu

1. Iman Berubah Menjadi Ornamen

Melansir History Snob, keyakinan sejati kepada Tuhan membantu orang tetap membumi dan menyediakan kerangka moral untuk hidup.

Ketika ritual menggantikan keyakinan dan slogan menggantikan kitab suci, ideologi dibajak oleh para pemimpin agama yang hanya tertarik untuk memperluas pengaruh dan kekuasaan mereka sendiri.

Baca Juga: Hamas Desak Mediator Dorong Penerapan Kesepakatan Gencatan Senjata

2. Orang Berhenti Memiliki Anak

Ketika orang berhenti bereproduksi, hal itu menandakan ketidakseimbangan yang lebih dalam. Di Yunani Kuno dan Florence pada masa Renaisans, angka kelahiran anjlok, dan masyarakat runtuh tak lama kemudian. Kurangnya keturunan menandakan hilangnya keyakinan akan masa depan.

3. Pendidikan Berubah Menjadi Prestasi

Gelar bertambah banyak, tetapi kebijaksanaan langka. Warga mengejar kredensial seperti uang, dan sekolah menjadi pabrik untuk konformitas, alih-alih rasa ingin tahu.

Hasilnya adalah masyarakat berpendidikan tinggi yang tidak dapat membedakan kebenaran dari retorika.

4. Semua Orang Mulai Membicarakan Masa Lalu yang Indah

Ketika nostalgia menjadi sentimen nasional, itu pertanda masalah. Kerinduan untuk kembali ke masa lalu menandakan perasaan kolektif bahwa masa depan tidak akan lebih baik. Ketika sentimen ini mengakar, bangsa-bangsa berputar mundur, mencari masa keemasan yang tak pernah seindah yang dibayangkan dalam ingatan.

5. Peta Tak Lagi Sesuai Wilayah

Laporan resmi tetap optimis sementara jalanan menceritakan kisah lain. Pemerintah mengklaim panen rekor sementara orang-orang mengantre untuk mendapatkan roti. Ini bukan sekadar propaganda; ini delusi. Angka resmi berhenti menggambarkan kenyataan dan mulai membela ilusi.

6. Inovasi Berpindah ke Pinggiran

Kreativitas sejati, yang dulu dipupuk di kota-kota besar, kini bergeser ke garasi, ruang bawah tanah, atau pengasingan. Untuk memahami kebenaran ini, Anda cukup melihat para penyair di Rusia pasca-keruntuhan atau para programmer di negara-negara yang dilanda perang saat ini yang membangun perusahaan rintisan teknologi di zona mati listrik. Kecerdasan tetap bertahan—tetapi hanya di pinggiran masyarakat.

7. Cuaca Berhenti Bekerja Sama

Mungkin mengejutkan, tetapi iklim selalu berperan dalam kehancuran masyarakat besar dalam sejarah. Ketika Mesopotamia terpuruk, kekeringan melanda. Zaman Es Kecil di Eropa menyebabkan kelaparan dan kerusuhan sosial. Bahkan keruntuhan modern pun berjalan beriringan dengan gagal panen dan badai yang semakin parah.

8. Batas-batas Mengabur Sebelum Runtuh

Seiring merosotnya negara, perdagangan tersendat, mata uang berfluktuasi, dan kemudian orang-orang mulai pergi mencari padang rumput yang lebih hijau.

Awalnya sepi dan hampir tak terasa. Keluarga-keluarga berkemas dan pergi; tentara membelot. Suatu hari, peta masih menunjukkan sebuah negara, tetapi dalam praktiknya, negara itu sudah bubar.

9. Humor Menjadi Lebih Gelap

Yang satu ini anehnya konsisten. Seiring keruntuhan semakin dekat, lelucon menjadi lebih gelap, dan sarkasme menjadi bahasa nasional yang tidak resmi.

Para komedian mulai mengatakan apa yang tidak bisa dikatakan jurnalis, mengubah tawa menjadi perisai sekaligus senjata. Ketika humor berubah pahit, itu pertanda bahwa harapan mulai menipis.

10. Kejatuhan Terasa Normal

Ini adalah pola yang paling aneh. Orang jarang menyadari bahwa mereka sedang mengalami kemerosotan hingga semuanya terlambat.

Untuk sementara waktu, kehidupan masih terus berjalan—perjalanan harian dan anak-anak pergi ke sekolah. Lalu suatu hari, sesuatu terjadi. Lampu tidak menyala kembali; rak-rak di pasar tidak diisi ulang. Keruntuhan menjadi tak terelakkan.

(ahm)

Read Entire Article
Budaya | Peduli Lingkungan| | |