loading...
Salim, Ketua Dewan Pakar KPPMPI dan Kandidat Doktor Universitas Airlangga. Foto/istimewa
Salim
Ketua Dewan Pakar KPPMPI dan Kandidat Doktor Universitas Airlangga
"TELAH nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." — (QS. Ar-Rum: 41)
Dalam setiap embusan angin yang bersih di pagi hari, mengapa kita mendengar bisikan kesedihan? Di tengah keindahan alam Indonesia yang memikat, seharusnya kita merayakan keberkahan. Namun, saat ini, suara-suara merintih terkubur dalam deru mesin dan kabut asap yang menggenggam langit.
Pulau Sumatera, yang seharusnya menjadi simbol kekayaan alam kita, kini terpuruk dalam bencana ekologis yang disebabkan oleh tangan-tangan manusia yang rakus dan tidak bertanggung jawab. Hutan-hutan lebat yang dulunya memeluk bumi kini telah hancur, ditinggalkan sebagai onggokan kayu seperti bangkai mati yang tak bernyawa dan mengalir dengan arus deras beserta lumpur menggerus dan menerjang kehidupan masyarakat dalam keheningan.
Mari kita lihat lebih jauh. Ketika pembalakan liar mengambil alih hutan kita, apa yang terjadi pada ekosistem? Sungai-sungai yang dulunya jernih kini terkotori oleh limbah, dan tanah yang subur kehilangan kemampuannya untuk menyimpan air. Banjir bandang dan tanah longsor menjadi sahabat baru masyarakat mereka datang dengan mengerikan dan merenggut nyawa serta harapan. Kemanakah kita bersembunyi dari kenyataan pahit ini? Di manakah rasa empati pemimpin yang seharusnya mengarahkan kita menuju solusi, bukannya masalah?
Marilah kita merenung sejenak: hutan ini bukan hanya sekadar kumpulan pohon. Ia adalah “perpustakaan kehidupan” yang menyimpan kekayaan alam, pengetahuan, dan warisan budaya. Setiap daun, setiap akar, adalah bagian dari jaring kehidupan yang saling berkaitan. Namun, keserakahan kita telah mengubahnya menjadi lahan gundul yang tak berdaya. Kita tidak hanya kehilangan hutan; kita juga kehilangan esensi dari kehidupan itu sendiri.
Suara-suara alam yang tenang kini berganti dengan raungan mesin dan tangis hampa masyarakat yang kehilangan tempat berlindung. Masyarakat hanya diganti dengan sereceh rupiah, yang menyebabkan malas untuk berontak. Namun sang begundal melenggang bagaiakan raja kelana yang bahkan lupa kalau dia punya lahan yang di eksploitasi.
Dalam konteks ini, mari kita merenungkan kata-kata bijak dari filsuf Immanuel Kant. Dia mengajukan pemikiran mendalam tentang moralitas dan etika, menekankan pentingnya tanggung jawab terhadap lingkungan. Ketika seorang pemimpin mengabaikan hukum dan etika demi keuntungan pribadi, dia telah melanggar prinsip-prinsip moral dasar. Kerusakan hutan bukan hanya tragedi ekologis; ini adalah kegagalan moral dan intelektual manusia. Dalam mengejar keuntungan jangka pendek, kita sering kali mengorbankan masa depan yang lebih baik.
Kita sering terjebak dalam lingkaran keserakahan, di mana setiap tindakan dibenarkan demi keuntungan pribadi, tanpa memikirkan dampaknya terhadap lingkungan dan generasi mendatang. Hutan yang kita anggap tak terbatas ini bukanlah milik kita, melainkan titipan yang seharusnya dijaga untuk menunjang kehidupan semua makhluk. Namun, kita menjadikannya barang dagangan yang bisa dipotong dan dijual, seolah hutan dan alam tidak memiliki hak untuk hidup.















































