loading...
Ridwan al-Makassary, Dosen Fakultas Ilmu Sosial UIII dan Direktur COMPOSE UIII. Foto/Dok. SindoNews
Ridwan al-Makassary
Dosen Fakultas Ilmu Sosial di Universitas Internasional Indonesia (UIII)
Direktur di Center of Muslim Politics and World Society (COMPOSE UIII)
DI INDONESIA, perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW jatuh pada Jumat, 5 September 2025, dan menjadi hari libur nasional. Sayangnya, pelaksanaan Maulid Nabi tahun ini dilaksanakan di masa-masa kelabu, pascademonstrasi massa akhir Agustus 2025, yang masih menyisakan luka dan air mata.
Tidak diragukan, saban tahun, ketika kalender Islam beralih ke Rabiʿ al-Awwal, jutaan Muslim di pelbagai penjuru dunia memperingati kelahiran Nabi Muhammad dengan cara dan tradisi yang beragam. Dikenal sebagai Mawlid al-Nabi, Muslim dari Jakarta ke Kairo, dari Dakar ke Karachi merayakannya dengan suka cita, jalan-jalan dihiasi dengan spanduk, masjid dipenuhi dengan bacaan Al-Qur’an, dan masyarakat berkumpul sambil memanjatkan doa ke langit untuk mengenang seorang pria yang mengubah jalannya sejarah.
Manusia terbaik yang pernah lahir ke dunia sebagai rahmat bagi semesta alam. Perayaan Maulid Nabi mengambil bentuk yang beragam. Di Indonesia, Maulid Nabi acap berpadu dengan ekspresi budaya yang kaya: prosesi, pembacaan Al-Qur'an, ceramah agama, dan pesta komunitas makan bersama.
Di Mesir, masjid yang diterangi cahaya lampu menandai perayaan tersebut. Di Senegal dan Maroko, ordo Sufi mengadakan dzikir sepanjang malam—peringatan komunal akan Tuhan—sambil memuji Nabi melalui puisi devosi (penyerahan kepada Tuhan). Di Afrika Barat, drum dan nyanyian mengiringi pertemuan yang sarat devosi.
Di Turki, perayaan tersebut telah menginspirasi seni dan sastra. Praktik yang beragam ini mengingatkan kita bahwa cinta kepada Nabi tidak terikat oleh geografi atau budaya; itu adalah dorongan bersama yang diekspresikan dalam bentuk yang tak terhitung jumlahnya.
Di tempat lain, hari berlalu dengan tenang, dengan kutbah dan pemberian amal bagi yang membutuhkan. Tradisi yang baru di sebagain wilayah di Indonesia adalah Jumat berkah, dengan memberi makan bagi warga pada selepas Jumat. Singkatnya, keragaman semacam itu tidak saja mencerminkan jangkauan Islam yang luas, melainkan juga tersedia banyak cara masyarakat mengekspresikan penghormatan dan cinta kepada Muhammad SAW.
Namun, kritik atas perayaan ini juga diarahkan para kritikus, acap dari kalangan puritan atau reformis, berpandangan bahwa Mawlid adalah inovasi (bidʿah), yang tidak ada presedennya pada generasi awal Islam. Bagi mereka, mengingat Nabi harus melalui meniru teladannya, bukan melalui perayaan.
Sebaliknya, para pendukung menanggapi bahwa memperingati kehidupan Nabi akan memperdalam hubungan spiritual dan menginspirasi orang percaya untuk hidup dengan ajarannya. Perdebatan ini telah berlangsung selama berabad-abad, tetapi juga mencerminkan ketegangan yang lebih luas dalam masyarakat Muslim: bagaimana menghormati warisan sambil tetap setia pada kitab suci, bagaimana menjaga agama tetap hidup tanpa membiarkan ritual membayangi makna.