loading...
Israel menggelar operasi darat di Kota Gaza. Foto/anadolu
GAZA - Sejak meletusnya berbagai putaran konflik antara Israel dan kelompok bersenjata di Gaza—mulai dari operasi besar pada 2008 hingga perang berkepanjangan pasca serangan 7 Oktober 2023—Israel berulang kali menyatakan tujuan untuk “menaklukkan” atau setidaknya menetralkan kekuatan Hamas di wilayah yang kecil namun sangat padat itu. Namun tujuan itu selalu gagal hingga saat ini.
Meski mengerahkan kekuatan militer modern, teknologi canggih, dan dukungan dari sekutu utama Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Barat, Israel selalu gagal mencapai kemenangan total.
Gaza tetap bertahan sebagai pusat perlawanan, bahkan setelah gempuran udara, operasi darat, dan pengepungan yang menghancurkan infrastruktur sipil maupun militer.
Kegagalan ini tidak semata-mata disebabkan oleh faktor militer, tetapi juga oleh kompleksitas sosial, politik, hukum internasional, hingga dinamika regional yang membuat “penaklukan Gaza” menjadi misi yang hampir mustahil dicapai dengan senjata saja.
1. Medan Tempur Gaza: Terowongan Bawah Tanah Hamas
Gaza adalah salah satu area perkotaan terpadat di dunia. Bertempur di “dense urban terrain” dikenal sebagai jenis perang paling sulit: garis pandang pendek, banyak titik tembak dari gedung ke gedung, risiko jebakan 360°, serta kebutuhan infanteri besar untuk menguasai tiap blok dan mempertahankannya dari serangan balik kecil namun berulang.
Analis militer menekankan, di lingkungan seperti ini, keuntungan teknologi modern menyusut karena kontak dekat meminimalkan manfaat ISR dan daya tembak jarak jauh.
Kesulitan itu berlipat karena Gaza punya jaringan terowongan bawah tanah (“Gaza metro”) yang sangat luas, berlapis, dan saling terhubung dengan ribuan lubang akses yang muncul di dalam rumah, masjid, sekolah, dan fasilitas sipil.
Estimasi kredibel menempatkan panjang jaringan antara 350–450 mil (560–720 km), bahkan ada estimasi 500–600 km; kedalaman bervariasi dari beberapa meter hingga puluhan meter, diperkuat beton, dialiri listrik/ventilasi, dan dipakai untuk manuver, komando, penyimpanan, serta menahan sandera.
Menghancurkan terowongan memakan waktu, logistik, dan amunisi khusus; menutup satu poros sering melahirkan tiga poros baru.
Ini membuat “penguasaan wilayah” di atas permukaan tidak pernah berarti penghancuran kemampuan tempur di bawah tanah.
2. Tujuan Perang Israel yang Berubah-ubah dan Ambigu
Sejak awal, Israel menyatakan tujuan “menghancurkan Hamas” sekaligus membebaskan sandera, menghentikan tembakan roket, dan menciptakan tatanan baru di Gaza.
Dalam praktiknya, tujuan-tujuan ini sering berbenturan—misalnya, operasi intensif untuk memburu komando Hamas meningkatkan risiko bagi sandera; sementara penghentian operasi untuk memberi ruang negosiasi menyisakan kantong-kantong Hamas tetap utuh.
Ketika tujuan bergerak antara penghukuman, pembasmian, deteren, dan rekayasa politik, desain kampanye sulit konsisten dan garis “akhir kemenangan” kabur.
Lembaga think-tank internasional dan Israel sendiri menyoroti, menekan kemampuan Hamas secara militer bisa dilakukan, tetapi “mengeliminasi” total organisasi di ekosistem Gaza tanpa arsitektur politik penerus nyaris mustahil.
Kekaburan “siapa memerintah Gaza setelah perang” menjadi penghambat strategis utama. Washington berulang kali menekan agar ada rencana “day-after”; berbagai skema digodok—dari tata kelola internasional sementara, pemerintah teknokrat, hingga peran Otoritas Palestina (PA)—namun tidak ada konsensus operasional yang diterapkan.