TNI Lahir dari Rahim Rakyat, Jadikan Pilar Persatuan dan Pembangunan Bangsa

20 hours ago 16

loading...

Guru Besar Damai dan Resolusi Konflik, Rumpun Ilmu Pertahanan Universitas Negeri Jakarta Abdul Haris Fatgehifon menegaskan TNI lahir dari rahim rakyat Indonesia. Foto: Ist

JAKARTA - Guru Besar Damai dan Resolusi Konflik, Rumpun Ilmu Pertahanan Universitas Negeri Jakarta Abdul Haris Fatgehifon menegaskan bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) lahir dari rahim rakyat Indonesia. Itu disampaikan merespons pentingnya persatuan di tengah gejolak resistensi terhadap RUU TNI yang saat ini sudah ditandatangani dan tercatat dalam lembaran negara menjadi UU No 3 Tahun 2025 tentang perubahan UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI.

Dia menekankan pentingnya komponen masyarakat untuk memahami bahwa TNI bukan hanya kekuatan bersenjata, tetapi juga bagian tak terpisahkan dari perjuangan dan pembangunan nasional yang dilandasi semangat persatuan dan kesatuan rakyat Indonesia.

"TNI didirikan oleh kalangan anak-anak muda dan rakyat Indonesia yang berasal dari latar belakang daerah dan agama yang berbeda. Lahirnya tentara adalah buah dari kesadaran kolektif untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia, dan itu adalah kewajiban seluruh rakyat Indonesia," ujar Haris, Jumat (18/4/2025).

Para pendiri TNI berasal dari berbagai profesi, termasuk para pendidik. Sosok seperti Jenderal Sudirman dan Jenderal AH Nasution memiliki latar belakang sebagai guru yang sangat memengaruhi karakter dan arah kebijakan militer Indonesia.

"Jenderal Sudirman adalah guru di HIS Muhammadiyah Cilacap, sedangkan AH Nasution adalah lulusan Sekolah Guru Bandung dan pernah mengajar di Bengkulu dan Palembang. Jiwa pendidik mereka membentuk filosofi keteladanan dalam militer. Sudirman meletakkan dasar moral ketentaraan, sementara Nasution menggagas konsep jalan tengah agar TNI tetap berperan dalam pembangunan tanpa mencampuri urusan politik secara langsung," ungkapnya.

Haris juga menyoroti perjalanan sejarah TNI yang sejak awal tidak dibentuk sebagai tentara profesional melainkan sebagai tentara pejuang.

"Jika kita ukur dengan standar tentara profesional, Indonesia sebenarnya tidak punya tentara dalam pengertian itu. Di awal kemerdekaan, TNI bahkan tak digaji negara, mereka harus membeli seragam sendiri dan mencari senjata dari pasar gelap. Salah satu sumber pendanaan perjuangan saat itu adalah perdagangan candu yang dilegalkan pemerintah untuk kebutuhan revolusi," katanya.

Meski memiliki struktur komando yang kuat, TNI tidak pernah melakukan kudeta meskipun menghadapi turbulensi politik.

"Saat terjadi pemberontakan PRRI/Permesta, pimpinan TNI seperti Jenderal AH Nasution dan Jenderal Ahmad Yani berdiri mendukung Presiden Soekarno. Kalau tidak, sejarah Indonesia bisa saja berbeda," ujar Haris.

Semenjak era revolusi kemerdekaan hingga era reformasi, TNI menunjukkan loyalitas pada pemerintah yang sah.

"Kalaupun ada mantan tentara yang kini menjadi presiden, mereka terpilih lewat proses demokratis. Banyak juga perwira yang kalah dalam pemilu atau pilkada. Ini membuktikan bahwa TNI menghormati proses demokrasi," katanya.

(jon)

Read Entire Article
Budaya | Peduli Lingkungan| | |