loading...
Candra Fajri Ananda, Wakil Ketua Badan Supervisi OJK. Foto/Dok.SindoNews
Candra Fajri Ananda
Wakil Ketua Badan Supervisi OJK
PADA konteks dinamika ekonomi nasional dan tuntutan politik pembangunan, target pertumbuhan ekonomi sebesar 8% menjadi isu strategis yang perlu mendapatkan perhatian serius. Janji politik untuk mencapai angka tersebut bukan sekadar simbol ambisi, tetapi mencerminkan harapan masyarakat terhadap peningkatan kesejahteraan dan kemajuan ekonomi yang lebih merata.
Pasalnya, capaian tersebut tidak dapat diraih hanya dengan mempertahankan pola pembangunan konvensional yang telah berjalan selama ini. Target tersebut menuntut adanya konsistensi kebijakan, keberanian dalam reformasi ekonomi, serta sinergi lintas sektor untuk memastikan tercapainya hasil yang berkelanjutan.
Faktanya, pendekatan pembangunan ekonomi Indonesia selama ini masih cenderung bersifat inkremental dan belum mampu menjawab akar persoalan struktural yang menghambat pertumbuhan jangka panjang. Dominasi sektor-sektor tradisional seperti pertanian konvensional, perdagangan kecil, dan industri padat karya dengan produktivitas rendah masih menjadi ciri utama struktur ekonomi nasional.
Sementara itu, sektor-sektor dengan nilai tambah tinggi seperti manufaktur berbasis teknologi, industri kimia, elektronik, dan digital masih menghadapi kendala serius dalam hal investasi, riset, dan penguasaan teknologi. Akibatnya, kontribusi sektor industri pengolahan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terus mengalami stagnasi pada kisaran 18%-19% dalam satu dekade terakhir (BPS, 2025), jauh di bawah negara-negara Asia Timur yang telah mencapai lebih dari 25%.
Kondisi ini diperparah oleh lambannya proses birokrasi, kompleksitas perizinan, serta rendahnya efisiensi belanja pemerintah, yang mengakibatkan keterlambatan dalam implementasi proyek-proyek strategis dan menurunnya minat investasi asing langsung (FDI).
Selain faktor struktural, desain kebijakan di Indonesia juga belum sepenuhnya mendukung peningkatan produktivitas sektor riil. Alokasi anggaran pemerintah masih didominasi oleh belanja rutin dan subsidi konsumtif, sementara porsi untuk investasi pada riset, teknologi, dan infrastruktur industri masih relatif terbatas.
Dalam RAPBN 2025, misalnya, alokasi pembayaran bunga utang mencapai sekitar Rp 553 triliun atau sekitar 15% dari total belanja negara, menunjukkan beban belanja non-produktif yang tinggi (ISEAS, 2024). Sementara itu, belanja modal untuk infrastruktur nasional menurun dari plafon Rp 423,8 triliun menjadi Rp 400,3 triliun (PwC, 2024), dan pengeluaran untuk riset dan pengembangan masih sangat kecil, hanya 0,31% dari PDB (UNESCO, 2023).
Kondisi ini menunjukkan bahwa orientasi fiskal belum cukup diarahkan pada sektor yang dapat mendorong inovasi dan produktivitas jangka panjang. Selain itu, ketergantungan ekonomi terhadap konsumsi domestik menjadikan pertumbuhan ekonomi bersifat jangka pendek dan kurang resilien terhadap krisis global, seperti yang terlihat selama pandemi Covid-19 dan perlambatan ekonomi dunia pasca 2022.
Artinya, tanpa reformasi mendasar yang mengarah pada diversifikasi struktur produksi, peningkatan produktivitas tenaga kerja, serta penyederhanaan regulasi investasi, target pertumbuhan ekonomi 8% akan sulit diwujudkan secara berkelanjutan dan inklusif.
Tak dapat dipungkiri bahwa sektor industri memiliki peran strategis sebagai motor utama penggerak ekonomi nasional. Peningkatan efisiensi dan daya saing industri menjadi kunci untuk menciptakan nilai tambah dan memperluas pasar ekspor.
















































