Masa Depan Hospitality Indonesia: Dari Ruang Kelas ke Dunia Nyata

7 hours ago 28

loading...

Matthew Angga, Resort Manager & Head Chef, Innit Lombok. Foto/SIndoNews

Matthew Angga
Resort Manager & Head Chef, Innit Lombok

INDUSTRI kuliner dan perhotelan di Indonesia merupakah salah satu sektor penggerak yang dinamis. Sayangnya, terdapat pola berulang yang menghantui sektor ini selama dua dekade terakhir, yaitu situasi di mana, para lulusan pendidikan perhotelan, meskipun memiliki semangat yang tinggi, sering kali kewalahan menghadapi kerasnya realitas di lapangan. Ini bukan sekadar masalah penyesuaian, melainkan sinyal jelas bahwa ada jurang lebar antara apa yang diajarkan di ruang kelas dan apa yang dibutuhkan di dunia nyata. Pendidikan vokasi kita perlu dikaji ulang.

Kesenjangan ini terkonfirmasi oleh data statistik. Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2024 mencatat tingkat pengangguran terbuka untuk lulusan SMK masih berada di angka 8,64% dan Diploma I-III di angka 5,24%. Angka-angka ini berada jauh di atas rata-rata nasional. Sungguh ironis, di tengah kebutuhan industri yang terus mencari tenaga kerja andal, tingginya angka pengangguran dari lulusan vokasi, yang seharusnya menjadi tenaga kerja siap pakai, menjadi sebuah anomali yang mendesak untuk diatasi.

Masalahnya bukan lagi pada kurangnya keterampilan teknis dasar seperti memotong atau plating, melainkan pada absennya kompetensi esensial yang menentukan keberhasilan operasional yang efisien, tangguh, dan berkelanjutan.

Kompetensi krusial yang hilang inilah yang menjadi fokus utama. Diskusi intensif antara akademisi, pemerintah, dan pelaku industri dalam Job/Occupational & Task Analysis (JOA) Workshop, yang merupakan bagian dari program Sustainable Tourism Education Development (STED) bersama Kementerian Pariwisata (KemenPar) dan Swisscontact, mengungkap empat pilar utama yang masih menjadi penghambat. Pilar pertama adalah konsistensi standar mutu di bawah tekanan yang merupakan kemampuan untuk mempertahankan kualitas yang sama, terlepas dari kecepatan dan volume permintaan.

Pilar kedua adalah manajemen waktu dan koordinasi lintas departemen. Waktu adalah mata uang di sektor ini. Kegagalan mengatur waktu atau berkoordinasi secara efektif antar-dapur, layanan, dan manajemen berarti kerugian operasional. Yang ketiga adalah kepemimpinan dan komunikasi yang efektif untuk memimpin tim dan mendelegasikan tugas. Yang terakhir dan yang paling penting adalah kesadaran terhadap keberlanjutan (sustainability) serta pengolahan food waste.

Read Entire Article
Budaya | Peduli Lingkungan| | |