Konsistensi Polri di Jalan Terjal Reformasi

7 hours ago 26

loading...

Abdul Haris Fatgehipon. Foto/Istimewa

Abdul Haris Fatgehipon
Guru Besar Damai dan Resolusi Konflik Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum UNJ

PERINGATAN Hari Bhayangkara ke-79 dengan tema Polri untuk Masyarakat sangat relevan dengan harapan masyarakat Indonesia saat ini. Masyarakat menginginkan Polri sebagai institusi penegak hukum, yang dapat melindungi dan mengayomi masyarakat. Harapan publik, Polri menjadi polisi yang profesional yang mandiri, patuh, dan taat pada undang-undang, tidak diperalat oleh kepentingan politik praktis pemerintah dan kepentingan bisnis korporasi.

Data dari Komnas HAM, pihak yang diadukan terkait pelanggaran HAM di Indonesia tahun 2024, Polri menempati urutan pertama, dengan 663 aduan, Pemerintah Daerah dan Pusat urutan kedua dengan 433 aduan. Urutan ketiga, korporasi dengan 321 aduan. Data ini dapat menjadi pengingat kepada semua jajaran Polri untuk melakukan introspeksi, agar segera melakukan pembenahan internal. Ke depannya, diharapkan kinerja Polri semakin baik sehingga keberadaan Polri dapat dirasakan dan dipercaya oleh masyarakat.

Perjuangan reformasi Indonesia 1998, salah satu agendanya adalah pemisahan Polri dari ABRI, bertujuan memosisikan Polri sebagai bhayangkara negara, pelindung masyarakat. Presiden BJ Habibie, dalam pidato tahunan kenegaraan 15 Agustus 1998 menyampaikan berbagai hal terkait agenda Reformasi 1998, salah satunya reformasi dalam tubuh ABRI. ABRI harus menyesuaikan diri dengan perubahan era demokrasi dengan memperkuat kekuatan masyarakat madani. Presiden BJ Habibie dalam pidato kenegaraan, 15 Agustus 1998 mengingatkan akan kedudukan Polri dalam ABRI harus ditinjau kembali mengingat Polri memiliki fungsi dan tujuan yang berbeda dengan Angkatan Bersenjata. Polri adalah institusi sipil penegak hukum

Baca Juga: HUT ke-79 Bhayangkara, Senkom Perkuat Polri Perkokoh Stabilitas Keamanan

Di era reformasi, Polri mendapatkan ruang untuk berkembang sesuai dengan doktrinnya. Keputusan Presiden BJ Habibie untuk memisahkan Polisi dari TNI bertujuan untuk memperkuat fondasi bagi pembentukan negara demokrasi di Indonesia. Berbagai agenda penting di era reformasi, seperti Pemilu 1999, dapat berjalan dengan baik, secara jujur, adil, karena Polri dan TNI di era Presiden BJ Habibie netral, tidak diperalat untuk kepentingan politik pemerintah

Presiden BJ Habibie meski sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Golkar tetapi beliau tidak menggunakan kewenangan yang dimiliki untuk memenangkan partai Golkar. Dalam Pemilu 1999, aparat kepolisian dan TNI tidak terbebani untuk memenangkan partai politik pendukung pemerintah. Polri mulai memposisikan diri menjadi aparat hukum yang mandiri dan menjaga jarak dengan kekuasaan.

Di masa transisi pascagerakan Reformasi 1998, Polri dan TNI memiliki tugas yang berat, menjaga dan mengamankan konflik vertikal dan horizontal yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia, Konflik Aceh Poso, Banyuwangi, Kalimantan, Kupang, Maluku, Papua, dan Timor Timur

Dalam era demokrasi peran Polri harus dikembalikan sebagai institusi penegak hukum yang berwajah sipil, jauh dari tampilan militer yang selama ini dibentuk dalam era Orde Baru. Salah satu cara untuk membentuk Polri berwajah sipil adalah dengan memisahkan polisi dari institusi ABRI. Polisi harus menjadi kekuatan penegakan hukum. Fungsi dan peran kepolisian di Indonesia sangat rancu bila dibandingkan dengan fungsi dan peran kepolisian di berbagai negara disebabkan sejak awal regulasi yang mengatur sudah keliru. Maka itu, lembaga kepolisian harus dikembalikan pada tempat dan posisi yang benar. Atas dasar inilah, dilakukan amendemen pada Pasal 30 (4) UUD 1945. Dalam Pasal 30 (4) UUD 1945 dijelaskan: Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.

Read Entire Article
Budaya | Peduli Lingkungan| | |