loading...
Opsen pajak akan menjadi bebar besar dan berat bagi konsumen yang berencana membeli motor baru. Foto: Sindonews
JAKARTA - Di tengah hiruk pikuk jalanan Indonesia, di mana sepeda motor menjadi nadi kehidupan bagi jutaan orang, sebuah kebijakan baru bernama "opsen pajak" datang membayangi. Kebijakan ini, yang dirancang untuk menambah pundi-pundi pendapatan daerah, berpotensi menjadi beban berat yang akan langsung 'mencekik' leher konsumen, terutama masyarakat kelas menengah ke bawah.
Ancaman ini bukan lagi sekadar isapan jempol. Pengakuan jujur datang dari raksasa industri otomotif itu sendiri. PT Astra Honda Motor (AHM), sebagai produsen motor terbesar di Tanah Air, secara terbuka mengakui bahwa kebijakan ini akan memukul daya beli masyarakat. Meskipun pada akhirnya mereka akan patuh, nada pasrah tak bisa disembunyikan.
"Kita masih menunggu. Tetapi apapun kenaikan harga yang cukup signifikan, pasti akan berdampak ke affordability atau daya beli," kata Octavianus Dwi, Marketing Director PT AHM di Jakarta, beberapa waktu lalu. Pernyataan ini menjadi sinyal kuat bahwa industri sendiri sudah mengantisipasi dampak negatif dari regulasi baru ini.
Lantas, seberapa berat beban yang harus ditanggung konsumen? Opsen pajak, yang merupakan pungutan tambahan pada Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), diprediksi akan membuat harga sepeda motor baru melonjak antara Rp800.000 hingga Rp2.000.000 per unit.
Angka ini mungkin terdengar sepele bagi sebagian kalangan, namun bagi seorang pekerja yang menabung berbulan-bulan demi sebuah alat transportasi untuk bekerja, kenaikan ini adalah pukulan telak. Akibatnya, potensi penurunan penjualan sepeda motor pada semester kedua tahun 2025 ini menjadi sebuah keniscayaan yang sulit dihindari.
Dilema pun muncul. Di satu sisi, pemerintah daerah berdalih kebijakan ini diperlukan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Namun, pertanyaan kritis yang mengemuka adalah: haruskah peningkatan pendapatan itu dicapai dengan cara membebani sektor yang paling vital bagi mobilitas dan ekonomi rakyat kecil?