loading...
Ketua PN Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap putusan perkara Pemberian Fasilitas Ekspor CPO dan turunannya. Foto/Dok.Kejagung/Ilustrasi/Maspuq Muin
JAKARTA - Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia KH Ikhsan Abdullah menanggapi Kejaksaan Agung (Kejagung) yang pada Sabtu (12/4/2025) malam menangkap sejumlah hakim dan pengacara terkait dugaan pengaturan putusan kasus CPO di PN Tipikor Jakarta Pusat. Menurut Ikhsan, hukuman yang pantas untuk penegak hukum yang melakukan tindak pidana korupsi adalah hukuman seumur hidup atau hukuman mati.
Dia menuturkan, perbuatan pidana yang dilakukan oleh penegak hukum, terlebih tindak pidana yang bersifat extra ordinary crime, maka hukumannya harus diperberat. Jika perlu hukuman seumur hidup atau hukuman mati.
“Mengapa hukuman seumur hidup atau hukuman mati? Karena penegak hukum apalagi seorang hakim statusnya menjadi ujung tombak dari penegakan hukum dan keadilan, karena vonisnya dianggap mewakili keadilan Tuhan," ujar Kiai Ikhsan, Selasa (22/4/2025).
Lebih lanjut dia mengatakan, vonis mati atau hukuman seumur hidup saat ini sangat tepat dijatuhkan. Hal itu mengingat kejahatan korupsi sudah sangat darurat dan meresahkan.
Dalam kasus itu, Kejagung turut menahan dua pengacara yakni Marcella Santoso dan Ariyanto Bakri. Kedua pengacara itu diketahui kerap memamerkan harta kekayaannya di media sosial (medsos).
Keduanya juga kerap menangani klien elite, seperti Arif Rachman Arifin, anak buah Ferdy Sambo dalam kasus obstruction of justice pembunuhan Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat. Ada juga Rafael Alun Trisambodo, mantan pejabat Ditjen Pajak yang terlibat dalam kasus gratifikasi.
Nama lainnya adalah Harvey Moeis, suami Sandra Dewi, yang terseret dalam kasus korupsi tambang, termasuk Helena Lim yang dikenal sebagai crazy rich PIK, yang sempat viral karena akses vaksinasi Covid-19.
(rca)