PHK Massal Terpa Industri RI, Indikator Ekonomi Sedang Tak Baik-baik Saja?

4 hours ago 17

loading...

Ekonom mengatakan, PHK massal yang terjadi di industri menjadi indikator kondisi ekonomi Indonesia. Foto/Dok

JAKARTA - Tren pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di industri tekstil kembali terjadi. Setelah sebelumnya menerpa Sritex, kali ini melanda dua pabrik sepatu di Kabupaten Tangerang, Banten, yakni PT Adis Dimension Footwear dan PT Victory Ching Luh yang berdampak pada nasib 3.000 karyawan.

Menurut Direktur Ekonomi Digital Center of Economics and Law Studies (Celios) Nailul Huda, ini menjadi indikator bahwa ekonomi Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Ia bahkan tak segan-segan menyebut fenomena PHK massal ini sebagai "lampu kuning" bagi perekonomian dalam negeri.

Huda mengatakan, maraknya PHK massal lantaran industri dalam negeri sedang babak belur dihajar oleh kondisi global dan domestik yang tidak stabil. Permintaan dari China dan US menurun drastis dalam dua tahun terakhir.

"Akibatnya produksi TPT (tekstil dan produk tekstil dalam negeri dirasionalisasikan dengan permintaan ekspor," jelas Huda saat dihubungi MNC Portal Indonesia pada Sabtu (15/3/2025).

Belum lagi ditambah persaingan TPT dalam negeri oleh produk impor dari China yang jauh lebih murah dengan dikeluarkannya beleid Permendag No.8/20204 yang mempermudah arus impor barang dari luar negeri.

Huda berpendapat aturan tersebut membuat masyarakat lebih memilih produk dari China yang lebih murah, dibandingkan dengan produk lokal. Apalagi belakangan juga banyak beredar impor China ilegal yang semakin menggerus industri nasional.

"Kemungkinan PHK akan bertambah sangat terbuka mengingat PMI kita masih belum membaik. Permintaan dalam negeri mungkin akan membaik dalam beberapa bulan ke depan ,namun tidak akan signifikan saya rasa," lanjut Huda.

Tidak berhenti di situ, penyebab lain yang menyebabkan marak PHK di Indonesia disebut Huda karena ada faktor pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini tidak berkualitas, karena salah satu indikatornya adalah sektor industri tidak optimal dalam menyerap tenaga kerja.

Sambung Huda mengatakan, dahulu 1% pertumbuhan ekonomi bisa menyerap hingga lebih dari 400 ribuan tenaga kerja. Saat ini 1% ekonomi hanya menyerap 100 ribuan tenaga kerja saja, sehingga dalam jangka menengah dan panjang, kondisi ini akan memperparah kemiskinan dan ketimpangan.

"Kemudian, ada deindustrialisasi prematur yang menunjukkan kinerja sektor industri manufaktur tidak optimal. Proporsi industri manufaktur terhadap PDB hanya 18%. Padahal 10 tahun yang lalu, proporsi pernah mencapai 20% lebih," tambah Huda.

Read Entire Article
Budaya | Peduli Lingkungan| | |