loading...
Ilustrasi suap. Foto/Dok SindoNews
JAKARTA - Sekretaris Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Publik (LBH AP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ikhwan Fahrojih buka suara menyikapi praktik suap Rp60 miliar atas vonis lepas tiga korporasi, yaitu Musim Mas Group, Permata Hijau Group, dan Wilmar Group dalam perkara fasilitas ekspor minyak sawit mentah ( CPO ) yang melibatkan perusahaan. Ikhwan mengatakan, peradilan di Indonesia dalam kondisi darurat moral.
Diketahui, advokat, hakim, dan panitera pengadilan diduga terlibat dan ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). “Maraknya suap-menyuap karena rendahnya moralitas penegak hukum, baik advokat maupun hakim," ujar Ikhwan, Rabu (23/4/2025).
Dia berpendapat, seharusnya hakim dan peradilan memiliki moralitas dan integritas. Sebab, mereka adalah muara dan harapan terakhir penegakan hukum. Ikhwan juga menyesalkan perilaku pengacara yang diduga terlibat dalam suap ini.
Dia menilai, advokat (pengacara) adalah officium nobile (profesi mulia) yang dilarang memberi suap. "Di profesi advokat ada kode etik advokat, di mana advokat sebagai officium nobile tidak boleh memberi suap," tuturnya.
Kendati demikian, Ikhwan menilai, suap yang dilakukan Marcella Santoso dan Ariyanto Bakri adalah persoalan integritas pribadi. Tidak semua pengacara menangani perkara dengan memberi iming-iming kepada penegak hukum.
“Jika hal itu terjadi (memberi suap), maka itu adalah masalah integritas personal yang mencoreng profesi,” imbuhnya.
Menurut Ikhwan, perlu dilakukan evaluasi total terhadap sistem peradilan untuk menghentikan praktik mafia peradilan. Dia pun menekankan pentingnya membangun sistem yang mampu melahirkan hakim yang kompeten dan berintegritas, dimulai dari proses rekrutmen.
"Rekruitmen perlu dipertimbangkan untuk merekrut calon-calon hakim yang telah berpengalaman di dunia hukum misal selama 10 atau 15 tahun, bukan fresh graduate," kata Ikhwan.
Lebih lanjut dia mengatakan, eksaminasi putusan oleh perguruan tinggi atau fakultas hukum atas putusan hakim juga perlu disemarakkan untuk menilai kualitas hakim, termasuk sebagai dasar promosi dan mutasi hakim. Selain itu, dia mengusulkan pengawasan yang lebih kuat serta peningkatan kesejahteraan hakim. "Kesejahteraan hakim harus juga ditingkatkan," ucap Ikhwan.
Dia pun berharap ke depannya agar independensi hakim bukan hanya slogan, tetapi diwujudkan dalam kualitas putusan yang berpijak pada logika hukum dan kebenaran. Dia mengatakan, hakim harus menjadi harapan terakhir bagi keadilan, bukan menjadi bagian dari persoalan itu sendiri.
(rca)