Ketua Dewan Pakar DPP Asprindo Ungkap Dampak Kebijakan Tarif Donald Trump

4 hours ago 24

loading...

Ketua Dewan Pakar DPP Asprindo sekaligus Guru Besar Ekonomi Politik IPB dan Paramadina Prof. Didin S Damanhuri mengungkap dampak kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump. Foto/SindoNews

JAKARTA - Presiden Amerika Serikat Donald Trump menerapkan bea masuk baru mulai dari 10% hingga 50% pada barang impor. Kebijakan ini mulai diberlakukan pada Rabu, 2 April 2025 kepada puluhan negara di dunia.

Ketua Dewan Pakar DPP Asprindo sekaligus Guru Besar Ekonomi Politik IPB dan Paramadina Prof. Didin S Damanhuri menilai, globalisasi ekonomi yang selama ini menjadi pijakan dunia kini menghadapi ujian berat. Terutama bagi negara berkembang di mana Indonesia berada di persimpangan kritis menghadapi perang dagang dan bayang-bayang deglobalisasi pascatarif Trump.

Menurut dia, semenjak keruntuhan komunisme dan berakhirnya periode perang dingin awal dekade 80-an, praktis secara politik dunia memasuki periode Pax-Americana. Yakni, semua negara mau tak mau harus melakukan political adjustment terhadap kekuatan politik dan militer Amerika Serikat (AS) beserta sekutu-sekutunya yang tergabung dalam G-7.

Hal itu juga membawa konsekuensi secara ekonomi. Dunia pun masuk secara monolitik ke dalam sistem perekonomian neoliberal yang terlembagakan ke dalam perjanjian-perjanjian internasional, khususnya ke dalam World Trade Organization (WTO).

“Jika ditilik secara intensif, kita melihat bagaimana asas neoliberalisme mendominasi dalam spirit WTO, di mana praktis lembaga tersebut telah menjadi wasit dalam proses globalisasi,” ujarnya, Senin (7/4/2025).

Sejak 1950, volume perdagangan dunia telah meningkat 20 kali lipat. Population Bulletin mencatat, perdagangan barang dan jasa jumlahnya mencapai USD6,5 triliun pada 2000, yakni hampir seperempat dari total Produk Domestik Bruto (PDB) dunia yang besarnya USD31 triliun. Dalam kondisi globalisasi, inisiatifnya berasal dari administrasi Clinton di Amerika sebagai upaya agar Amerika dapat mengembalikan supremasi ekonomi dunia karena terjadi defisit anggaran dan perdagangan di era Reagan sekitar USD500 miliar.

“Globalisasi sebenarnya mengandung bias AS. Dengan telah berjalannya sekitar 3,5 dasawarsa globalisasi, malah yang lebih diuntungkan ialah China, dan Amerika Serikat makin menjadi korban globalisasi itu sendiri. Sementara itu, bagi sebagian besar negara berkembang termasuk Indonesia, masih menjadi masalah dalam menghadapi globalisasi,” katanya.

Dalam satu dasawarsa, ternyata administrasi Trump baik di era pemerintahan pertama periode 2017-2021 maupun kedua periode 2025-2029, Amerika sebagai negara adidaya justru menganggap dengan globalisasi telah merugikan perekonomiannya. Yakni terjadinya lagi-lagi defisit neraca peredagangan yang kolosal, sekitar USD918 miliar atau lebih dari Rp15.000 triliun.

Read Entire Article
Budaya | Peduli Lingkungan| | |