Kenangan Perang Transformatif Ungkap Kisah Tiga Kota di China

2 days ago 34

loading...

Wisatawan mengunjungi Museum Sejarah 9.18 di Shenyang, Provinsi Liaoning, China timur laut, pada 12 Agustus 2025. Foto/Xinhua/Wu Qinghao

BEIJING - Zhang Xin, seorang veteran perang, tak akan pernah melupakan hari ketika para agresor Jepang menyerah. Yan'an, basis revolusioner di China barat laut, diterangi oleh banyak lentera, sementara suara sorak-sorai, petasan, gong, dan genderang bergema sepanjang malam.

Di Chongqing, China barat daya, Long Qiming, seorang pilot, membawa keluarganya ke sebuah studio foto untuk berfoto bersama.

Sementara itu, di Shenyang, China timur laut, seorang tentara bernama Yang Huafeng berbisik: "Ayah, ibu, akhirnya kita menang."

Yan'an, Chongqing, dan Shenyang membentuk segitiga tumpul di peta China. Seperti ratusan kota lainnya, masing-masing menyimpan kenangan akan Perang Perlawanan Rakyat China Melawan Agresi Jepang, yang berlangsung dari tahun 1931 hingga 1945.

"Banyak rekan saya gugur melawan penjajah," kata Yang. "Kemenangan ini diraih dengan susah payah."

Pada 1945, China meraih kemenangan setelah 14 tahun perjuangan tanpa henti, yang menelan korban tewas dan luka-luka yang sangat besar, yakni 35 juta jiwa dari pihak militer dan sipil.

Selama Perang Anti-Fasis Dunia, China membendung dan melawan sebagian besar pasukan Jepang, menumpas lebih dari 1,5 juta tentara musuh.

Awal Kesengsaraan

Pada 18 September 1931, pasukan Jepang meledakkan satu bagian dari jalur kereta yang berada di bawah kendali mereka di dekat Shenyang, ibu kota Provinsi Liaoning, dan menuduh tentara China sebagai dalih untuk melancarkan serangan.

Malam itu, Jepang membombardir barak-barak di dekatnya, menandai dimulainya 14 tahun invasi Jepang.

Reruntuhan barak-barak tersebut kini telah dilestarikan. Terletak di satu gang yang tenang, gerbang abu-abu yang telah dibangun kembali tampak tidak memiliki bekas lubang-lubang peluru.

Namun, di tempat inilah tembakan-tembakan pertama dilepaskan dalam perang perlawanan, pada saat pemimpin Nazi Adolf Hitler masih meletakkan fondasi untuk "visinya" bagi Jerman setelah Depresi Besar.

"Jepang adalah sarang pertama Perang Fasis Dunia," ujar Li Donglang, seorang profesor di Sekolah Partai Komite Sentral Partai Komunis China (Communist Party of China/CPC) (Akademi Tata Kelola Nasional). "Oleh karena itu, Insiden 18 September menandai dimulainya perjuangan global melawan Fasisme."

Setelah merebut Shenyang dan kemudian seluruh Provinsi Liaoning, Jepang segera menguasai seluruh China timur laut, termasuk Jilin dan Heilongjiang. Namun, perlawanan tak pernah berhenti.

Di pusat kota Shenyang yang ramai, satu gang dengan rumah gerbang (gatehouse) yang dibangun dari batu bata tampak biasa saja di antara gedung-gedung tinggi.

Namun, inilah Fu'an Lane, yang dulunya merupakan lokasi komite CPC setempat, di mana satu deklarasi dikeluarkan oleh CPC pada hari kedua setelah Insiden 18 September. Deklarasi ini diakui sebagai deklarasi pertama yang menentang penjajah Jepang.

Yang Huafeng, yang lahir pada 1933, masih ingat keberanian para gerilyawan di China timur laut saat itu.
"Jumlah mereka paling banyak hanya dua atau tiga ratus orang. Setiap kali melihat satu unit kecil pasukan Jepang, mereka langsung menghabisi mereka," kenangnya.

Kenangan Perang Transformatif Ungkap Kisah Tiga Kota di China

Veteran perang Yang Huafeng menceritakan kisah masa mudanya di Shenyang, Provinsi Liaoning, China timur laut, pada 30 Juni 2025. Foto/Xinhua/Pan Yulong

Karena kekurangan senjata, para pejuang membuat sendiri atau menggunakan senjata yang berhasil dirampas dari tentara Jepang.

Yang, yang kemudian bergabung dengan pasukan gerilya, berasal dari satu desa di Provinsi Heilongjiang.

Ayahnya ditangkap oleh pasukan Jepang dan dipaksa bekerja sebagai buruh. Saat diinterogasi, ayahnya menyatakan, "Saya orang China!" Akibatnya, dia dipukuli hingga tewas.

Ibunya ditembak mati saat mencoba menyelamatkan barang-barang dari rumah mereka yang terbakar.

Pada 1936, Zhang Xueliang, yang saat itu menjadi komandan tentara timur laut China yang mundur dari Shenyang, menyandera pemimpin Kuomintang, Chiang Kai-shek, dan meminta dia menghentikan perang saudara dan bersatu dengan CPC untuk melawan agresi Jepang.

Ketabahan dan Pengorbanan

Pada 1937, Jepang menyerang Beijing, menandai invasi besar-besaran ke China.

Di medan-medan perang utama, China yang miskin tidak sebanding dengan Jepang yang telah maju dalam hal industri, yang memiliki produksi baja lebih dari 140 kali lipat dibanding produksi China.

Setelah Beijing, kota-kota besar lainnya, seperti Shanghai, Nanjing, dan Wuhan, berturut-turut jatuh dengan cepat.
Akibatnya, ibu kota negara dipindahkan dari Nanjing di China timur ke Chongqing di China barat daya.

Migrasi massal pun terjadi, bahkan melampaui skala Dunkirk. "Sekitar 80 juta atau bahkan hampir 100 juta warga China, sekitar 15 hingga 20 persen dari seluruh populasi, bermigrasi," tulis sejarawan Inggris Rana Mitter dalam bukunya "Forgotten Ally: China's World War II, 1937-1945."

Read Entire Article
Budaya | Peduli Lingkungan| | |