Film, Agama, dan Negara: Pertarungan Makna di Ruang Gelap Bioskop

3 hours ago 23

loading...

Gilang Ramadan, Sub Komisi Litbang Lembaga Sensor Film RI dan Alumni CRCS UGM. Foto/Dok. SindoNews

Gilang Ramadan
Sub Komisi Litbang Lembaga Sensor Film RI
Alumni CRCS UGM

FILM bertema agama tidak dapat direduksi hanya sebagai medium hiburan semata. Ia, dalam konteks tertentu, berfungsi sebagai arena sosial di mana nilai keagamaan, norma moral, dan persepsi publik bertemu, saling berinteraksi, bahkan saling menguji.

Dalam kerangka ini, film agama dapat dipandang sebagai teks budaya yang membuka ruang bagi negosiasi makna sekaligus menjadi refleksi atas dinamika sosial-keagamaan di masyarakat. Ketika sebuah film mengangkat judul atau latar yang menyinggung keyakinan mapan, respons masyarakat muncul dalam bentuk yang beragam.

Sebagian audiens menekankan dimensi moral-religius, sebagian lain menilainya melalui parameter estetika, dan tidak sedikit yang memaknainya sebagai provokasi ataupun pemicu refleksi kritis. Pola respons yang berlapis ini adalah bagian dari sederet bukti bahwa film agama bekerja bukan hanya pada ranah representasi.

Lebih jauh, meminjam istilah Birgit Meyer, film juga bekerja pada ranah performatif (Meyer, 2015). Ia memengaruhi cara publik menafsirkan agama, moral, dan nilai sosial. Film bertema agama, dengan demikian menempati posisi strategis terutama dalam studi tentang agama dan masyarakat.

Ia menghadirkan ruang negosiasi di mana norma-norma keagamaan tidak hanya direproduksi, tetapi juga dipertanyakan dan ditransformasikan. Pertemuan antara narasi sinematik dan pengalaman kolektif penonton memperlihatkan bahwa film berperan sebagai ritual sekular, yakni medium yang memungkinkan publik menegosiasikan keyakinan, menafsirkan ulang moralitas, serta merespons dinamika sosial-keagamaan kontemporer secara terpisah.

Performativitas, Kolektivitas, dan Respons Agama
Berkaitan dengan ritual sekular tersebut, Catherine Bell, dalam karya seminalnya Ritual Theory, Ritual Practice (1992), mengemukakan bahwa ritualisasi adalah strategi sosial yang terstruktur dan bermakna. Bell menyebut “ritualization as a culturally strategic way of acting,” yang berarti bahwa praktik ritual tidak hanya merupakan tindakan simbolis, tetapi juga merupakan cara strategis dalam bertindak dalam konteks sosial tertentu (Bell, 1992, p. 8).

Ritual, bagi Bell, bukanlah aktivitas yang terisolasi, melainkan bagian dari aktivitas sosial yang lebih luas. Ia berfungsi untuk membentuk dan menegosiasikan makna tentang sesuatu dalam masyarakat.

Dalam konteks film bertema agama, ritualisasi dapat diamati melalui cara film membentuk pengalaman kolektif penonton. Melalui struktur naratif, simbolisme, dan karakterisasi, Bell menyebut bahwa film bertema agama seringkali berfungsi lebih dari sekadar penyampai cerita. Di Indonesia, film seperti Munkar, yang mengambil latar pesantren dengan nuansa horor, dan Kiblat, yang mengangkat konflik spiritual dan otoritas moral, adalah beberapa contoh tentang bagaimana narasi sinematik dapat menghadirkan ketegangan moral dan religius.

Read Entire Article
Budaya | Peduli Lingkungan| | |